Rabu, 15 September 2010

Penyeragaman Versi Bacaan Quran, Karena Wahyu atau Politik?

'Qiraah' atau 'qiraat' adalah cara membaca. Gaya membaca. Qurra' adalah
ahli membaca Qur'an. Untuk jelasnya barangkali bisalah disamakan dengan cara
bahasa Inggeris diucapkan oleh orang-orang Amerika, orang Inggris sendiri,
Um.ar ibn al-Khattab dan Hisham ibn Hakim suatu saat berbeda di dalam qira'ah sebuah ayat dari al-Furqan. `Umar yang telah mempelajari ayat tersebut langsung dari Rasulullah saw, bertanya kepada Hisham siapa yang mengajarkannya. Hisham menjawab: "Rasulullah saw." Kemudian mereka pergi bertemu Rasulullah saw dan melaporkan permasalahan yang dihadapi. Ketika kedua-duanya menyampaikan bacaan masing-masing, Rasulullah saw mengatakan bahwa kedua­dua tersebut adalah benar{Ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari, 9: 30-31.}
Jadi, qira'ah diwarisi dari Nabi. Tidak ada qira'ah yang berasal dari ruang yang vakum atau hasil dari dugaan para in­novator. Ketika qira'ah yang otoritatif lebih dari satu, sumber dari banyaknya qira'ah ini dapat ditelusuri ke Rasulullah saw. Pada zaman para sahabat, sebuah buku muncul dengan judul banyaknya qira'ah. Ketika waktu berkembang, perbandingan qira'ah diantara para Qurra' terkenal dari berbagai negeri dan berkulminasi di karya Ibn Mujahid{Muhammad Mustata al-A`zami, The History of the Qur'anic Text, 152-53. }

penyeragaman itu dilakukan karena adanya kesalahan membaca Quran

muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi. Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya. Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar